![]() |
Sumber: Fotografikompas |
Kutuntun sepedaku dalam
keheningan orang dan malam yang sepi. Berdua saja. Kususuri jalan beraspal
menuju lapangan bola di deket sungai. Daerah lembah sungai cimanuk. Sebuah lapangan
bola yang selalu digunakan saban sore untuk latihan bola maupun pertandingan
antar kampung. Kontras dengan saat sore tadi yang riuh rame sorak sorai
penggemar dan pemain bola, malam ini begitu sepi dan hanya suara-suara binatang
malam dan aliran lembut sungai yang kedengaran. Tak ada orang.
“Mas, badannya jangan kaku. Rileks
saja” Perintahnya. Sungguh perintah yang saya tidak tahu cara mengerjakannya. Bukan
sekali dua kali. Bertahun-tahun lamanya saya tidak dapat memahami perintah itu.
Dalam hati berkata, sejak dulu saya pengen bisa badan ini tidak kaku dan bisa
rileks di atas kendaraan sepeda. Ya… Dua puluh tujuh tahun lamanya saya tidak
bisa menikmati rileksnya bersepeda hanya karena satu alasan. Saya tidak bisa
naik sepeda.
Begitu tersiksa dengan kondisi
ini. Jutaan cemoohan dan seringai ejekan telah kuterima dari sekolah dasar
hingga perguruan tinggi. Juga ketika bekerja. Bisa dibayangkan bagaimana otakku
cari alasan agar saya tidak naik sepeda. Apalagi naik motor. Tersiksa sekali. Tak
ada cara buat belajar sepeda, atau tepatnya saya malu belajar sepeda karena
faktor usia. “Idiiiiih bapak gak bisa naik sepeda? Baru belajar ya pak?” dengan
seringai senyum di mulutnya. Huhhhh… inilah yang bikin malu buat belajar naik
sepeda. Seringai anak kecil yang mulutnya usil bagaikan serangai serigala yang
siap mencabik-cabik tubuhku. Mencabik-cabik kehidupan normalku selama 27 tahun.
Tanpa perlawanan.
Malam ini adalah malam yang ke 7
saya berlatih mengendarai sepeda. Malam yang ke 7 berlatih tanpa dilihat orang.
Malam yang ke 7 mengakhiri derita. Tentunya harus tanpa seringai
serigala-serigala kecil. Hanya berdua dengan adikku di saat orang terlelap. Di saat
keheningan malam. Kadang bila adikku berhalangan, sahabat karibku yang
menggantikan posisi adikku. Sebagai pelatih.
“Yaaaaa…. Terussss masssss…”Teriak
adikku. Seakan tak percaya, malam itu saya mampu beberapa menit mengendalikan
sepeda meluncur ke depan dengan posisi sepeda miring ke kiri. “Gubrakkk,….”
akhirnya sepeda butut itu tak mampu menahan tubuh yang kehilangan keseimbangan.
Jatuh. Tidak tahu ini jatuh yang keberapa. Kata pepatah, bukan banyaknya jatuh
yang bisa buat orang jadi hebat, tapi seberapa kuat ia bangun ketika terjatuh. Meringis
karena nyeri bercampur gembira karena sepeda sepertinya sudah dalam genggaman
kendaliku. Bangkit lagi dan kuayuh lagi untuk kutaklukan derita ini. Lagi, lagi
dan lagi.
Semangat itu terus hadir hingga
H-1 pernikahan. Seperti anak kecil yang mendapatkan mainan baru, aku terus
bermain dengan mainan baru ini. Tanpa kenal lelah. Begitu mengasyikan, hingga
pada saat walimah pernikahanku, diriku ‘terkapar’ kecapaian. Bukan karena
lamanya ritual pernikahan, melainkan lamanya penantian selama 27 tahun agar
bisa mengayuh sepeda.
Kutancapkan motor ini menuju
kolam renang untuk mengantar kedua anakku berenang sambil teringat mantra sakti
mandra guna “Man jadda wa jada” Siapa bersungguh-sungguh, ia pasti dapat…
coba syh tau dari dulu ya, bisa tak ajarin kk naik sepeda tanpa pegang stangnya,heeeee.
BalasHapussyh belajar naik sepeda kelas 5 SD, jatuh itu menu kudapan sore karena belajarny sore hari.
dikejar2 mamang angkot krn pintu angkotnya penyot kena stang sepeda yg nyeruduk.
kecemplung di parit, di serempet truck, waaaaah seru deh :)